Berharap Pada Ketua KPK

Masuk Koran Sindo 1 Juli 2010

Vedi R Hadiz, guru besar Murdoch University, pernah mengulas panjang-lebar tentang upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Ia berkesimpulan bahwa pemberantasan korupsi bukan soal sistem, aturan, atau ideologi. Pemberantasan korupsi adalah tentang komitmen politik ; yakni, sejauh mana Presiden dan pejabat-pejabat tinggi pemerintahan memiliki political will untuk bersungguh-sungguh memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Watak sistemik korupsi telah menggurita sehingga menghubungkan institusi-institusi pemerintahan dalam lingkaran setan. Pemberantasan korupsi niscaya menimbulkan resistensi karena ada indikasi kuat keterlibatan orang-orang penting di dalamnya. Dalam kasus di Indonesia, korupsi sudah pada tingkat sangat mengkhawatirkan karena ia bermain di level institusi penegak hukum, sehingga membuat kredibilitas hukum jatuh di mata masyarakat.

Komitmen politik itulah yang sekarang kita rindukan karena kondisi kekinian KPK patut membuat kita waspada. Momentum reformasi dan pemberantasan korupsi terancam oleh penonaktifan dua pimpinan KPK pasca penolakan SKPP oleh pengadilan. Hak-hak istimewa KPK sebagai superbody seperti penyadapan dan penuntutan terus digerogoti. Bahkan Presiden pun pernah mengingatkan tentang wewenang KPK yang dianggap terlampau besar. Komitmen pemberantasan korupsi yang kerap mengancam kepentingan banyak pihak membuat KPK tidak disukai dan keberadaannya terus-menerus dipertanyakan oleh mereka yang tidak suka hukum ditegakkan di negeri ini. Padahal, citra positif KPK yang diraih lewat keberanian mengungkap sejumlah kasus korupsi justru menunjukkan kegagalan institusi penegak hukum lain dalam memerangi korupsi. Keberadaan KPK bukan untuk menyaingi kepolisian atau kejaksaan, tetapi untuk mengakselerasi pemberantasan korupsi yang luar biasa di Indonesia.

Di dalam situasi seperti itu lah pemilihan ketua KPK yang baru berlangsung. Nasib pemberantasan korupsi sedang dipertaruhkan. Sejumlah nama-nama beken yang tak diragukan integritasnya di mata publik ditunjuk menjadi panitia seleksi (pansel). Kita senang dengan keputusan Todung Mulya Lubis, salah satu anggota pansel, yang menolak masuk menjadi anggota dewan pembina partai Demokrat karena agenda pemberantasan korupsi saat ini jauh lebih penting baginya. Semangat non partisan memang harus dijaga oleh setiap anggota pansel supaya pansel bisa berkonsentrasi dan mengambil jarak dari lobi-lobi kekuasaan.

Dari 287 pendaftar, sebanyak 145 nama lolos administrasi. Mereka yang lulus tahap administrasi bisa dikategorikan dalam empat kritieria, mantan pengacara koruptor, jaksa, orang-orang yang belum terdengar kiprahnya dalam pemberantasan korupsi, dan orang-orang reformis. Masing-masing kelompok boleh jadi mencerminkan dua kekuatan yang sedang berseteru ; kubu koruptor dan anti koruptor. Hanya akan ada dua orang yang diajukan ke DPR yang kemudian akan memilih ketua KPK yang baru. Calon ketua KPK bukan saja harus dinilai integritas dan kapabilitasnya, tetapi sejauh mana ia memiliki akseptabilitas di mata DPR. Pada analisa terakhir, memang kepentingan politik lah yang akan menentukan selera ketua KPK. Oleh karena itu, pengawasan dan advokasi dari masyarakat sipil mutlak diperlukan untuk memastikan pemilihan ketua KPK dari awal sampai akhir berjalan sesuai dengan semangat anti korupsi.

Kita sangat berharap ketua KPK adalah seorang yang tanpa cela dan terbiasa melakukan reformasi hukum dimanapun ia bekerja. Ketua KPK bukan orang yang harus belajar lagi anatomi korupsi, tetapi orang yang hafal luar dalam bagaimana korupsi bekerja. Ia harus orang yang bernyali, tak bisa didikte, dan melawan korupsi tanpa tebang pilih sehingga mengembalikan harapan kembalinya KPK yang kuat, bersih, dan mandiri.

Sekali kita gagal, maka momentum gerakan nasional melawan korupsi akan hilang. Kepercayaan dan harapan masyarakat akan lumpuh. Dan entah kapan Indonesia akan bangkit dari keterpurukan.

3 thoughts on “Berharap Pada Ketua KPK

  1. Hmm… Tulisan yg mnarik!
    Kt memang btuh pemerintah yg berani, bukan pemerintah yg mudah dikendalikan, trmasuk ketua KPK.
    Bukan pula pemerintah yg cm bs jd pengikut. Mengikuti orang2 yg ada dibelakang mreka, hany untuk kpentingan golongan. Mengeksploitasi secra brutal SDM dan SDA Indonesia.
    Nietzsche jg bilang untuk g jd pengikut, g akan bs berkembang. Indonesia g akan mju klu petinggi2 negaranya msh sprti itu.
    Tp jngan smpai rakyat pesimis trhdap kinerja pemerintah. Sngat berbahaya klu rkyat sdah tdk prcaya lg pd pemimpinnya. Rakyat hrus mnjalankan kontrol sosialnya dng baik, mengontrol kebijakan2 yg diambil pemerintah. Bagaimana caranya?… wah… itu btuh pembicaraan yg pnjang, tdk mngkin dibicarakan dsni. Bukan bgtu?!

      • Hha… untk penguatan opini, pembuktian bhwa sy tdk asal berpendapat.
        Tp untung yg sy bawa Nietzsche, bukan Sartre, yg punya filosofi: manusia lain adalah neraka (Hell is other people), bs gwt kan klu ketua KPK kyak gt.
        Oya… untuk kalimat, “…..ketua KPK adalah seorang yang tanpa cela,…..”, saya rasa itu terlalu tinggi. Tidak ada manusia yg sempurna. Tanpa cela hanya milik Tuhan, Mas… @_+

Leave a reply to octharina_nur Cancel reply