Tentang Solipsisme, Subjek, dan Kaitannya dengan Kesadaran

Solipsisme dalam konteks ilmu filsafat berkembang sejalan dengan problem mind and body yang pertama kali dicetuskan Descartes. Dengan mengatakan “aku” sebagai satu-satunya entitas yang berpikir, maka Descartes mendikotomikan antara “aku” dengan dunia luar. ‘Berpikir’ (res cogitan) sebagai satu-satunya kepastian dalam filsafat Descartes, membuat manusia terpisah dari dunia di luar dirinya (res extensa). Bagaimana kita bisa menjembatani antara subjek yang berpikir dengan dunia di luar diri kita? Atau, bagaimana kesadaran diri dapat pula mengangkat kesadaran diri subjek-subjek lain? Apakah klaim objektivitas mendapat tafsir epistemologis yang memadai?

Problem Solipsisme pada dasarnya berkaitan erat dengan kesadaran – suatu ihwal yang belum diterangkan serius oleh Filsafat pra – pencerahan, termasuk Descartes. Solipsisme mengatakan “pikiran saya sebagai satu-satunya kesadaran yang berarti”. Itu artinya, problem solipsisme berpotensi meniadakan subjek-subjek lain lewat penegasan “keakuan”. Dengan demikian, tidak mungkin mengharap terjadinya rasio komunikatif dari problem Solipsisme. Meskipun kita dapat berspekulasi ; apakah solipsisme merupakan gejala mental, fisiologis, atau satu kesesatan berpikir akut akibat tradisi kuat filsafat subjek.

Problem Subjek

Sejak era generasi filsafat subjek Cartesian, kesadaran dan subjektivitas sudah diproklamirkan sebagai sesuatu yang ajeg. Kita dapat melakukan objektivikasi terhadap pengalaman dan dunia luar, seperti yang diinginkan manusia.

Kritik keras datang dari aliran Strukturalis dan Post-Strukturalis dengan mengatakan the end of subject. Bahwa subjek dan kesadaran tidak benar menampakkan diri, melainkan ia terbentuk lewat struktur kekuasaan, bahasa, dan kebudayaan. Dengan begitu, struktur telah mengikat subjek sedemikian rupa sehingga ia tak mungkin berkembang dengan caranya sendiri. Struktur amat menentukan hendak menjadi apakah subjek itu.

Kita dapat bertanya-tanya, patutkah subjektivitas diri tumbuh berkembang alamiah secara mandiri? Atau ia sepenuhnya bergantung pada struktur di luar dirinya? Disinilah gagasan dunia dialogis dan redefinisi Subjek ala Slavoj Zizek relevan diangkat.

Pertama-tama, kita memandang dialog bukan sebagai cara, melainkan sebagai akhir dan tujuan bagi diri sendiri. Sebagai tujuan, dialog mengafirmasikan kesadaran subjek. Dialog bukan awal tindakan melainkan tindakan itu sendiri. Dalam dialog subjek tidak hanya mengungkapkan  diri ke luar melainkan menyatakan diri ke dalam, artinya aktualisasi diri dalam dunia dialog bukan hanya berguna bagi orang lain akan tetapi bagi dirinya sendiri ; dua-duanya berorientasi pada suatu posisi dialogis.

Pemantapan dialog justru membawa kita pada hakikat subjek ; sebagai entitas yang tidak pernah selesai, subjek sebagai bagian yang terus-menerus meredefinisi dirinya lewat rangkaian dialog. Subjek, dengan demikian membutuhkan ”isi kebudayaan” yang terbentuk lewat problem ketidaksadaran manusia. Perangkat kebudayaan berikut subjek-subjek lain yang ada kebudayaan menjadi penting karena hanya melalui sarana itulah subjek dapat mengungkapkan diri. Keberadaan dunia luar sebagai ”mitra kerja” subjek dan kesadaran agar ia tak kehilangan pendasarannya. Keberadaanya mengacu pada entitas diluar dirinya. Dengan begitu, kita dapat mengurai sedikit salah satu problem Solipsisme ; bagaimana memahami Other Mind, karena mengkampanyekan dialog antarsubjek berarti mengajukan proposal emansipatoris ; membentuk subjek melalui kebaruan yang bersifat majemuk.

Dengan mengambil konsep the imaginary dan the symbolic Lacan, Slavoj Zizek melakukan pembelaan terhadap emansipasi  subjek Cartesian. Zizek menempatkan subjek pada garis ”antara”. Redefinisi subjek menurut Zizek berarti subjektivikasi ; proses penegasian dan perinduan terhadap segala macam bentuk usaha subjektivisasi lewat antagonisme, paradoks, dan ketidakmungkinan. Memahami subjek dengan cara ini sama dengan mengafirmasi lackness – kekurangan / ketidakcukupan subjek.  Subjek yang ingin dibentuk adalah melalui transendensi penempatannya kedalam ”ruang kosong”. The real dalam pengertian Lacan bukan mengekor pada the symbolic ; tempat dimana kebudayaan, tata sosial, etika, tumbuh subur, tapi menempatkannya pada posisi tak terjamah.

Dengan demikian kita meninggalkan Solipsisme sebagai warisan dari filsafat subjek. Bahwa subjek diri bukan tentang orang yang paling tahu, sebagaimana pula kita menolak kesadaran warisan filsafat modern pasca Descartes. Dalam pengertian subjek Zizek, maka kita pun tak akan pernah tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh subjek itu.