Ikut PK LPDP

Minggu lalu (9-15 Juli 2023) saya mengikuti program Persiapan Keberangkatan (PK) LPDP yang dilaksanakan di Ancol, Jakarta. Saya adalah 1 dari 198 awardee PK angkatan 207 yang akan menempuh studi S2 dan S3 di dalam dan luar negeri. PK menjadi salah satu kewajiban yang mesti dijalani para awardee sebelum mereka menempuh pendidikan masing-masing.

Terus terang awalnya saya tidak memiliki ekspektasi banyak: persiapan pra-PK sudah sangat menyita waktu dan energi. Banyak sekali tugas dan administrasi yang harus disiapkan, baik yang sifatnya individual maupun kelompok. Meeting online dan offline seakan tak pernah henti dalam dua bulan terakhir. Sambil menyiapkan itu semua, pekerjaan saya sebagai peneliti di CSIS dan dosen di UPN Veteran tetap berjalan seperti biasa. Ini belum ditambah dengan kebutuhan administrasi dan logistik di kampus tujuan saya, University of Maryland, yang harus disiapkan detail. Alhasil saya mengikuti PK dengan harapan sederhana: disahkan sebagai awardee dan menghabiskan waktu riang gembira bareng teman-teman baru.

Ternyata harapan saya dengan mudah terlampaui. PK lebih dari sekedar internalisasi nilai-nilai dan komitmen atau transfer pengetahuan terkait isu-isu relevan buat pembangunan Indonesia. Kegiatan ini membuat kami – atau setidaknya saya – lebih tersadarkan akan pentingnya membangun dan mempertahankan jejaring. I Made Arsana, dosen UGM, dalam materinya mengatakan bahwa network adalah sesuatu yang harus dibangun dengan sadar dan dilakukan sedini mungkin. Dalam paparan lain, Said Zaidansyah, Deputy Country Director ADB Indonesia, mengingatkan pentingnya memiliki inisiatif untuk menggerakkan jaringan pertemanan atau profesional agar tidak membeku. Pak Said juga menekankan pentingnya memiliki mentor. Mentor ideal versi Pak Said – yang dengan gampang saya setujui – adalah orang yang peduli dengan kita, ada chemistry, dan memiliki values yang kita hormati.

Di luar materi resmi, sesi favorit saya adalah ngobrol-ngobrol dengan peserta. Ini hanya bisa dilakukan dengan singkat di sela-sela break antarsesi. Obrolan biasanya dimulai dengan jabat erat perkenalan yang dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan antusias: “mau kuliah kemana” “ambil jurusan apa” “nanti pulang mau kerja dimana”.

Dari obrolan singkat tersebut, kesan umum saya penerima beasiswa LPDP adalah orang-orang yang persevered, fast–moving, dan self–motivated. Mereka tidak melihat kekurangan sebagai penghambat, melainkan sebagai kesempatan dan peluang. Seorang peserta asal Sulawesi bercerita bagaimana ia sampai harus menyiapkan diri berbulan-bulan ke Kampung Inggris di Pare, Kediri, agar lulus syarat bahasa. Ia mendaftar LPDP lewat jalur afirmasi. Kemudian setelah dinyatakan lulus, LPDP memfasilitasi dirinya dan ratusan awardee lain untuk mengikuti training intensif Bahasa Inggris di Jogja selama 6 bulan. LPDP membayar biaya kursus, biaya tes IELTS/TOEFL, dan biaya hidup bulanan(!) agar peserta jalur afirmasi ini punya kesempatan yang sama dengan peserta dari kota-kota besar. Terbayang betapa panjang waktu dan sumber daya yang dihabiskan demi keinginan bersekolah tinggi. Sekarang kawan ini bersiap studi S2 ke Belanda.

Kawan dari Papua bercerita kalau mereka tidak memerlukan syarat Bahasa Inggris. Syarat IPK juga dipermudah. Nanti kalau dinyatakan lulus, LPDP akan memfasilitasi mereka agar memenuhi profisiensi bahasa di kampus tujuan. Selain itu mereka juga diberi materi pengayaan terkait kebangsaan dan resiliensi diri di Bandung sebelum mengikuti PK.

Terakhir, seorang kawan yang sudah diterima beasiswa Fulbright memutuskan mengundurkan diri dan nekat mendaftar ke LPDP karena ingin kuliah di kampus tujuan: sekarang ia bersiap untuk berangkat ke Columbia University. 

Ada banyak sekali cerita yang tak mungkin saya rangkum di kolom singkat ini. Semuanya berkesan. Bukan hanya karena materi acara yang tersusun baik, tetapi juga willingness dan semangat peserta di sepanjang acara membuat acara ini menjadi lebih dari sekadar “ritual pra-keberangkatan”. Antusiasme itu menular. Acara yang baik dan terencana akan kurang greget jika tak dibarengi dengan antusiasme tinggi para peserta. Dan karena antusiasme ini, tantangan utama PK saya rasa tercapai, yakni bagaimana membuat ke-198 awardee ini kompak dan memiliki ikatan satu sama lain.

Dari kegiatan super padat yang kami jalani (mulai jam 5 pagi dan selesai jam 10 malam!), yang paling membuat takjub dari acara seperti ini adalah bagaimana persepsi dan perasaan yang terbangun diantara peserta khususnya pada jam-jam terakhir. Saya bisa memastikan, mayoritas awardee larut dalam haru selama dan pasca penutupan. Mereka tahu jejaring pertemanan baru ini akan bertahan dengan satu dan lain cara. Tetapi untuk berkumpul lagi selengkap ini, rasa-rasanya tidak mungkin. Masing-masing akan kembali ke daerah dan tenggelam dalam rutinitas. Karenanya, setiap peserta benar-benar menggunakan jam-jam terakhir untuk menyapa, berfoto, dan saling menyemangati satu sama lain.

Teruntuk teman-teman Kamala Nagari, saya haturkan terima kasih. Pertemuan kita singkat tapi membekas. Dimanapun kalian sekolah, saya mendoakan teman-teman dilancarkan studinya dan pulang dengan prestasi, ilmu, dan pengalaman. Salam hormat. Stay connected, Nakawula!

Noory Okthariza – Lembayung/Divisi Operasional PK-207

Shout-out to @lpdp_ri and members of @pk207.lpdp for making it happened!

And special thanks to all the Lembayung’s camaraderies: Achmad Rhesa Saputra, Alim Kidar Hanif, Anil Putri, Annisa Wening Maharani Putri, Ayu Candra Dewi, Chaerud Hamdi, Doni Nathaniel Pranama, Fadhiela Noer Hafiezha, Fanny Fathya Nurul Fatimah, Gerlan Apriandy Manu, Ginani Hening Utami, Hendra Rudiansyah, Hendrawan Tumakaka, I Gede Eka Perdana Putra, Jani Khoerani, Karenina Gracelia Herwandha, Leo Susanto, Lu’luatul Chizanah, Moh Ruzin, Nazhira Idzni, Novis, Penny Septina, Prita Dwi Lasnita Sitanggang, Putu Brahmanda Sudarsana, Reka Indrawan, Sherly Lutfhi Anita, Tanasha Azalea Suhandani, Theresia Evi Lonita, Yamuna Jiwaningrat M, Yaved Muyan, Yusrina Adzani.

Leave a comment